MINGGU VI SETELAH TRINITAS TGL. 3 JULI 2016, EVANGELIUM: GALATIA 6:7-16
GALATIA
6:7 Jangan sesat! Allah tidak membiarkan diri-Nya dipermainkan. Karena
apa yang ditabur orang, itu juga yang akan dituainya.
6:8 Sebab barangsiapa menabur dalam dagingnya, ia akan menuai kebinasaan
dari dagingnya, tetapi barangsiapa menabur dalam Roh, ia akan menuai hidup yang
kekal dari Roh itu.
6:9 Janganlah kita jemu-jemu berbuat baik, karena apabila sudah datang
waktunya, kita akan menuai, jika kita tidak menjadi lemah.
6:10 Karena itu, selama masih ada
kesempatan bagi kita, marilah kita berbuat baik kepada semua orang, tetapi
terutama kepada kawan-kawan kita seiman.
6:11 Lihatlah, bagaimana besarnya
huruf-huruf yang kutulis kepadamu dengan tanganku sendiri.
6:12 Mereka yang secara lahiriah
suka menonjolkan diri, merekalah yang berusaha memaksa kamu untuk bersunat,
hanya dengan maksud, supaya mereka tidak dianiaya karena salib Kristus.
6:13 Sebab mereka yang
menyunatkan dirinya pun, tidak memelihara hukum Taurat. Tetapi mereka
menghendaki, supaya kamu menyunatkan diri, agar mereka dapat bermegah atas
keadaanmu yang lahiriah.
6:14 Tetapi aku sekali-kali tidak
mau bermegah, selain dalam salib Tuhan kita Yesus Kristus, sebab olehnya dunia
telah disalibkan bagiku dan aku bagi dunia.
6:15 Sebab bersunat atau tidak
bersunat tidak ada artinya, tetapi menjadi ciptaan baru, itulah yang ada
artinya.
6:16 Dan semua orang, yang
memberi dirinya dipimpin oleh patokan ini, turunlah kiranya damai sejahtera dan
rahmat atas mereka dan atas Israel milik Allah.
JADILAH MENJADI ORANG YANG ADA ARTINYA,
DAN
LAKUKANLAH YANG ADA ARTINYA
1. Waktu
menafsirkan Gal.2:15-21 (Epistel 12 Juni 2016) sudah diterangkan sedikit
tentang surat Galatia. Dalam mengakhiri suratnya ke jemaat Galatia, Paulus
memberi nasihatnya yang tidak kalah pentingnya dari nasihat sebelumnya. Semua
nasihat itu (termasuk yang di sini) sangat berkaitan erat dengan kepercayaan
kepada Yesus Kristus sebagai Tuhan, Juruselamat dan yang telah memenuhi segala
tuntutan hukum Taurat, serta memperbaharui paradigma beragama umat TUHAN
sepanjang masa.
2. Di
pasal 6 itu Paulus mengajak jemaat agar kalau ada yang terjatuh ke dalam dosa
(atau melakukan pelanggaran), yakni pelanggaran terhadap hukum kasih yang dari
Kristus, maka dia yang rohani tampil dan harus bekerja segiat mungkin untuk
menuntun orang yang berdosa itu agar
kembali ke jalan yang benar, sambil menjaga dirinya agar jangan menjadi turut
terjatuh ke dalam dosa. Untuk itu dalam memimpin orang berdosa kembali ke jalan
benar, pemimpin itu sangat perlu dan diwajibkan
melakukan metode “lemah lembut”. Itu
sesuai ajaran Yesus, yang mengatakan: “Berbahagialah orang yang lemah lembut,
karena mereka akan memiliki bumi!” (Mat.5:5). Kelemah-lembutan selalu berhasil
memenangkan manusia bagi Yesus Kristus. Pemimpin yang menggembala, akan jatuh
ke dalam dosa apabila metodenya salah. Misalnya dia melakukan metode kasar, dan
“menghakimi”. Metode “kasar” dan
“menghakimi” akan membuat seorang pedosa menjadi semakin dalam masuk ke jurang
dosa. Setiap gembala harus meniru Tuhan Yesus seperti disaksikan dalam
nyanyian: “Sungguh lembut Tuhan Yesus memanggil....” Dalam kelembutannya, pemimpin yang
menggembala (melakukan pastoral) harus bersedia bertolong-tolongan menanggung
beban bersama orang yang dituntunnya kembali ke jalan benar. Langkah ini merupakan
pemenuhan hukum kasih Kristus. Kalau yang melakukan pastoral tidak mau
merasakan beban orang yang digembalainya, maka si gembala sudah melangkah mau
jatuh ke dalam dosa. Yang terbaik, apabila si gembala dapat mengambil alih
beban orang yang digembalainya. Kalau gembala datang kepada yang digembalai
sebagai seorang hakim yang memvonniskan hukuman berat bagi yang digembalainya (atau
bagi orang berdosa yang akan dituntun kembali ke jalan yang benar), mungkin si
gembala merasa sudah mewakili Tuhan Yesus melakukan tugasnya, dan merasa
dirinya sudah sangat berarti. Tetapi sebenarnya perbuatan dan persangkaan diri
sedemikian menunjukkan diri si gembala
sangat tidak berarti, bahkan menjadi faktor penambah kerusakan dalam diri orang
yang digembalai tersebut. Makanya agar jangan jatuh ke dalam praktek
‘penghakiman’ dan ‘penghukuman’ terhadap orang lain (yang berdosa), gembala dan yang digembalai sebaiknya
mengevaluasi perbuatan-perbuatan masing-masing. Karena masing-masing yang
bertanggungjawab atas perbuatannya. Kalau si gembala berdosa karena melakukan
metode yang salah dalam menggembalai, hukuman terhadap dia dari TUHAN akan
menjadi lebih berat dibanding hukuman terhadap orang yang digembalainya
(apalagi si pedosa itu kembali ke jalan TUHAN, walau metode penggembalaan yang
dia alami sangat bertentangan dengan ajaran Yesus Krisus). Seorang gembala
(pelaku pastoral) menjadi pengajar bagi yang dipastoralinya. Ilmunya diterapkan
di sana. Tetapi si gembala jangan lupa kepada orang yang menjadi gurunya, dalam
segala hal. Maka setiap gembala harus berusaha menyampaikan pengajaran Gembala
Agung kepada orang lain (yang digembalainya) tetapi dia tidak boleh lupa
bersyukur kepada Gembala Agung yang menjadi Guru Agung bagi si gembala. Dalam
menghormati Yesus Kristus pelaku pastoral itu juga akan sekaligus menghormati
para rekan-rekannya gembala umat (Gal.6:1-6).
3. Setelah
nasihat itu Paulus tegas mengatakan agar jemaat Galatia tetap berjalan di jalan
yang benar, dengan mengatakan: Jangan
sesat! Allah tidak membiarkan diri-Nya dipermainkan. Karena apa yang ditabur
orang, itu juga yang akan dituainya! Jalan sesat yang sering ditempuh
banyak pengerja huria adalah: mempermainkan (muktērizô) TUHAN. Mempermainkan TUHAN berarti melakukan perbuatan yang
sebenarnya demi kepentingan pribadi orang yang melakukannya, tetapi mengatakan
apa yang dilakukannya itu demi kepentingan TUHAN. Perhatikanlah yang
dilakukan oleh Hofni dan Pinehas, anak-anak Imam Eli, yang mengambil yang
terenak dari kurban persembahan kepada TUHAN untuk mereka santap, tetapi mereka
katakan itu adalah untuk TUHAN. Akhirnya mereka dihukum oleh TUHAN. (baca:
1Sam.2:11-36). Sering orang mempermainkan TUHAN dalam hal kemauan/kesediaan
“merayakan dan menguduskan” hari ketujuh. Juga termasuk perbuatan
“mempermainkan TUHAN” apabila seorang leaki-laki melegalisasi dirinya beristeridua
(berpoligami) dengan alasan bahwa si laki-laki tersebut kasihan melihat
perempuan janda yang punya anak, yang
dijadikannya isteri kedua/ketiga. Mereka memerlukan ayah, katanya. Itu dibuat
seolah-olah tindakan yang disetujui TUHAN, padahal tidak. Tanpa menikahi
perempuan janda punya anak, seorang laki-laki yang telah beristeri dapat mengayomi
janda tersebut dan anak-anaknya. Kaum
LGBT (Lesbian, Gay, Bisekxual, Transgender) menuntut agar Huria melegalkan
pernikahan manusia sama jenis kelamin, dan apabila Huria meng-ya-kan tuntutan
mereka, baik Huria maupun LGBT itu terhitung sebagai “mempermainkan TUHAN”.
LGBT adalah manusia biasa, tidak bercacat, tanpa dosa, tetapi kalau nikah sama
jenis kelamin, itu berarti mempermainkan TUHAN, dan dengan demikian yang nikah
sama jenis kelamin itu jatuh ke dalam
dosa. Terkutuklah gereja-gereja yang sudah merestui perkawinan/pernikahan
manusia yang sama jenis kelaminnya. Kalau LGBT mengatakan bahwa “nikah sama
jenis kelamin” merupakan hak azasi, itu berarti bahwa hak azasi mereka lebih
rendah dari hak azasi babi yang ada di desa-desa. Mungkin hak azasi babi lebih
tinggi lagi dari hak azasi mereka, sebab babi jantan atau babi betina atau babi
sining tahu babi mana yang seharusnya
dia kawini. Orang yang memproduksi,
mengedarkan narkoba untuk mencari uang, yang katanya demi kepedulian terhadap
orang-orang miskin, anak-anak terlantar, orang itu terhitung sebagai manusia
yang mempermainkan TUHAN.
Imam-imam (pengerja Huria) yang
menyelewengkan persembahan berarti menabur benih korupsi di tengah masyarakat.
Dengan demikian, Huria akan menuai buah dari korupsi itu, yakni akan begitu
banyak warganya yang melakukan korupsi, dengan alasan: Sedangkan para pengerja
Huria saja sudah korupsi, apalagi kami –kami ini. Kemudian akan semakin banyak anggota Huria
itu yang ditangkap dan dipenjarakan karena korupsi. Persembahan pun menjadi
hasil korupsi. LGBT yang melakukan
perkawinan (pernikahan) manusia sama jenis kelamin, akan menaburkan anak-anak
yang ayah dan ibunya tidak ada, dan kebohongan demi kebohongan akan terus
menerus bertambah. Karena anak yang diasuh atau diadopsi sepasang suami-isteri
yang sama jenis kelaminnya, selalu akan berdusta apabila ditanya: Siapa nama
ayahnu. Jawabnya: Mrs. Sillak boru
Deak Paujar. Atau kalau ditanya : Siapa
ibunya, dia akan menjawab: Tuan
Poltong Pardagaldagal. Masya ayah seorang boru (perempuan), dan ibu seorang
tuan (laki-laki)? Maka agar jangan
menuai kebohongan-kebohongan di tengah masyarakat, sebaiknya LGBT selaku
manusia yang melihat dirinya manusia normal, tidak mencari pasangan manusia
yang sama jenis kelaminnya dengannya. Lesbian bisa nikah dengan Gay dan
sebaliknya. Bisexual bisa nikah dengan laki-laki normal atau Gay. Pasangan
Lesbian dan Gay menjadi satu keluarga berhak mengadopsi anak, dan anak itu
nantinya tidak bohong lagi apabila menerangkan siapa ayahnya dan siapa ibunya.
Ayahnya pasti laki-laki yang gay, dan ibunya pasti perempuan yang lesbian.
Status Gay (bagi seorang laki-laki) dan status Lesbian bagi seorang perempuan
bukan seorang yang memalukan lagi di masa depan. Tetapi status itu dapat
menabur hal-hal yang baik, dan janganlah menaburkan hal-hal yang buruk (buah
daging semata-mata). Kalau demikian, setiap LGBT berhasil bebas dari perbudakan
seksual, dan berhasil merajai nafsu seksualnya, yang mungkin menurut dia
sendiri sebagai “normal” atau “tidak normal”. Yang hypersex saja disuruh
berjuang mengendalikan nafsu sexualnya, dan agar tidak mau diperbudak nafsu
sexualnya. Tidak ada ubahnya terhadap manusia-manusia yang mengatakan dirinya
“manusia normal dalam nafsu sexual dan kelamin”, diaturkan agar mengendalikan
nafsu seksualnya, dan tidak diperbudak nafsu seksualnya. Mereka kebanyakan
berhasil. Produsen narkoba dan pengedar narkoba menaburkan bibit penyakit
saraf, yang membuat pengguna narkoba itu rusak mental, rusak badan, dan rusak
dalam segala hal, dan sangat sulit dipulihkan kembali. Maka apabila narkoba
terus menerus “ditaburkan”, yang akan dituai oleh produsen narkoba dan pengedar
narkoba bukan lagi uang, melainkan para pecandu narkoba yang juga akan membunuh
para produsen dan pengedar narkoba itu. Suatu saat nanti, bukan polisi lagi
yang menindak para produsen narkoba dan pengedar narkoba, tetapi para
korban-korban narkoba itu sendiri, yang berubah menjadi barisan berani mati
untuk melawan para produsen dan pengedar narkoba yang merusak mereka. Sedangkan
yang menabur asap rokok (yang sekaligus benih kanker paru-paru) ke dalam
paru-parunya, akan menuai kematian karena kanker paru-paru. Inilah beberapa
contoh dari orang yang menabur dalam dagingnya dan ia akan menuai kebinasaan
dari dagingnya. Banyak lagi contoh kecil-kecilan: Siapa yang selalu mengasah
pedang terhadap orang lain (membunuh) akan dimakan pedang. Siapa yang mengasah
senjata nuklir, akan menuai ledakan nuklir juga. Siapa yang menabur Hosom, Teal, Elat, Late, maka dia akan
menuai Hosom Teal, Elat, Late juga.
Siapa yang menabur “penipuan” akan menuai “penipuan” juga. Siapa yang menabur
“harta illegal” akan dimiskinkan juga secara illegal bahkan secara legal. Dalam
Gal.5:19-20 Paulus menyebut sedikitnya 15
perbuatan daging, yang kalau itu ditaburkan, maka yang dituai akan itu
juga. Dan kalau itu yang terjadi, maka umat manusia akan lebih jahat lagi dari manusia di zaman
Sodom dan Gomora. Mereka yang demikian tidak mendapat bagian dalam Kerajaan
Allah, tetapi mendapat bagian dalam bencana kemanusiaan.
4.
Tetapi barangsiapa menabur dalam Roh, ia akan menuai hidup yang
kekal dari Roh itu.
Dalam Gal.5:22 Paulus menyebutkan beberapa dari buah-buah Roh, yakni: kasih,
sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan,
kelemahlembutan, penguasaan diri. Di bagian lain dari kesaksian Alkitab, banyak
lagi hal-hal yang dapat digolongkan sebagai buah Roh. Misalnya: penghiburan,
perlindungan, hikmat, keberanian, penguatan, dll. Buah-buah Roh ini dapat ditaburkan, tetapi
Paulus meminta agar itu ditaburkan dalam Roh. Jadi yang dari Roh harus
ditaburkan dalam (Yunani: eis) Roh. Mengapa harus dalam Roh?
Karena banyak hal-hal yang seperti buah-buah Roh itu di peradaban dunia, dan
agama –agama yang lain. Dan buah-buah Roh ini bisa juga ditabur dalam ideologi, dalam adat istiadat,
dalam kebudayaan, dalam politik, dan dalam pengembangan ilmu pengetahuan, tanpa
menaburnya dalam Roh. Tetapi Paulus menasihatkan agar “ladang” penaburan buah-buah Roh itu lengkap dan sempurna, buah-buah
Roh itu harus juga ditabur dalam Roh, yakni dalam Roh Kudus, Roh Tuhan Yesus,
yang telah menyediakan hidup yang kekal bagi setiap manusia yang bersedia
menerimanya melalui iman kepada Yahowa dalam Yesus Kristus. Jadi orang yang
menaburkan buah Roh dalam ideologi mengatakan: “Saya taburkan buah-buah Roh ini
dalam ideologi Pancasila (adat-istiadat, kebudayaan, politik, pengembangan
iptek) di dalam Roh Kudus, Roh Tuhan Yesus Kristus!” Bila demikian halnya, maka
buah-buah Roh itu akan tumbuh subur dalam ideologi Pancasila (adat-istiadat bangsa
Indonesia, kebudayaan bangsa Indonesia, dan dalam politik Indonesia maupun
dalam pengembangan ilmu pengetahuan di Indonesia). Apa hasilnya? Selain
ideologi, politik, budaya, adat dan ip-tek Indonesia sangat maju dan sangat
baik, ada satu lagi yang sangat penting akan dituai, yakni “hidup yang kekal”.
Indonesia bisa “kekal”, dan warganya menjadi “pewaris hidup yang kekal”. Orang yang menabur buah Roh dalam Roh –
dikatakan – akan menuai “hidup yang kekal” dari Roh itu. Hasil-panen dari buah
Roh yang ditabur dalam Roh di musim panen (tuaian) adalah “hidup yang kekal”. Jadi
menabur buah Roh adalah ibarat membuat “kopi susu”: tersedia air mendidih,
gula, kopi dan susu, lalu semua ditaruh (ditabur) dalam gelas dan dikocok, dan
hasilnya yang dituai adalah kopi susu, bukan lagi kopi, gula, susu dan air
mendidih; bukan seperti: ubi ditanam, maka hasilnya yang dituai adalah ubi
juga. Tuaian dari buah Roh yang ditabur dalam Roh berbeda proses dan hasil
tuaian dari perbuatan daging yang ditabur.
Hidup yang kekal telah disediakan oleh TUHAN Yahowa dalam Yesus Kristus
bagi setiap manusia. Tetapi siapa yang berhasil mendapatkannya adalah yang
menabur buah-buah Roh tersebut. Sama seperti seorang tuan rumah telah
menyediakan “kopi susu” bagi tamunya dengan meletakkan air mendidih, gula,
kopi, susu di atas meja tamu. Tamu yang datang berhasil mendapat dan menikmati
kopi susu, kalau tamu itu segera menyatukan (menabur) bahan-bahan itu dalam
gelas untuk menjadikan kopi susu yang
ada itu. Lalu si tamu dapat menikmati kopi susu.
5. Dari
apa yang diterangkan di atas, kiranya semakin jelas bagi Huria Kristen tentang
hubungan perbuatan baik dengan penuaian kehidupan yang kekal. Air mendidih,
kopi, susu dan gula merupakan ibarat untuk setiap perbuatan baik. Seorang
beriman kepada Yahowa dalam Yesus Kristus (telah dan sedang) dianugerahi
keselamatan dan pengampunan dosa, (secara sola
gratia), yang menghantar dia untuk masuk ke dalam kehidupan yang kekal. Roh
Kudus akan memelihara hidup orang beriman itu dalam proses menuju kehidupan yang
kekal yang akan dinikmatinya. Dalam proses pemeliharaan itulah, orang beriman
harus melakukan (menaburkan) buah-buah Roh dalam Roh, sehingga (sekarang dan nanti)
dia benar-benar menuai kehidupan yang kekal yang dianugerahkan itu. Kalau ada
tangan memberi, maka harus ada tangan yang menerima, sehingga pemberian sampai
dengan baik. Sewaktu tangan TUHAN diulurkan menganugerahkan (memberikan)
kehidupan yang kekal (dengan proses: pengampunan dosa, dan penyelamatan yang
dilakukan TUHAN dalam salib,kematian dan kebangkitan Kristus), maka tangan
manusia beriman akan menyambut dengan: kasih, sukacita, damai sejahtera,
kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri,
dan buah Roh lainnya. Menaburkan buah-buah Roh ini merupakan proses tangan
manusia beriman mengulurkan tangan menerima hidup yang kekal yang diberikan
TUHAN secara sola gratia; bukan untuk
mempengaruhi TUHAN agar menganugerahkan kehidupan kekal itu kepada yang
melakukannya. Dalam pemahaman seperti itu, tepat yang dianjurkan Paulus, agar
setiap orang beriman tidak jemu-jemu berbuat baik (menaburkan dan memelihara
buah-buah Roh), dan tidak menjadi lemah sampai akhir hidupnya. Orang beriman harus berjuang sampai “menang”
sebagai “pelaku firman” dan berhasil melakukan (menaburkan) buah-buah Roh itu
sampai dia menghembuskan nafasnya yang terakhir. Bandingannya: Seorang petani
yang sudah bekerja dari mulai membajak sawahnya, menabur benihnya, memelihara
tanamannnya, memupuknya, dan tanamannya benar-benar berbuah lebat. Tetapi petani itu akan gagal
menuai tanamannya yang sudah berbuah lebat dan siap dipanen itu, kalau si
petani menjadi lemah karena sakit (misalnya
lumpuh) atau karena mati sebulan sebelum
hari memanen/menuai tiba. Jadi seorang beriman harus mengurus dirinya agar sehat
jasmani dan rohaninya, dan sehat pemeliharaannya terhadap buah Roh itu sampai
masa/saat penuaian. Itulah yang disebut tidak jemu-jemu berbuat baik. Kesempatan berbuat baik adalah pada masa hidup
di dunia ini. Tidak seperti dikatakan para penganut agama Buddha di dataran
Tiongkok, yang mengatakan: “Nanti saya akan membalas budi baik saudara di alam
kehidupan berikutnya!”, sewaktu seseorang yang merasa tertolong hendak
menghembuskan nafas terakhir.
6.
Kesempatan
bagi pengikut Yesus untuk berbuat baik adalah setiap waktu yang diberikan TUHAN
kepadanya. Jadi “jangan tunggu sampai besok melakukan apa yang baik yang bisa
dikerjakan pada hari ini”, kata orang Inggris (Don’t wait till tomorrow, what you can do today). Itu sama artinya,
apabila seseorang diajak melayani TUHAN, dengan mengatakan: ‘Jangan tunggu
sampai pensiun dulu, baru mau menjadi pelayan TUHAN.’ ‘Jangan tunggu harus
menjadi kaya dulu, baru mau berpartisipasi untuk pembangunan rumah TUHAN.’
‘Jangan tunggu harus mati dulu, baru menikmati kehidupan sorgawi.’ ‘Jangan
tunggu sampai setelah keliling dunia dulu, baru membangun rumah tangga.’
‘Jangan tunggu sampai setelah matahari terbenam, barulah mengampuni dosa orang
yang bersalah.’ Tetapi selesaikanlah pekerjaanmu yang baik hari ini,
seolah-olah tidak ada lagi hari esok kesempatan untuk mengerjakannya.’ ‘Layanilah umat sebanyak mungkin hari ini,
seolah-olah hari esok tidak ada lagi waktu bertemu dengan dia.’ Menurut Paulus ada dua kelompok orang yang menjadi
objek perbuatan baik dari pengikut Yesus, yaitu: (1) semua orang, dan (2)
terutama kawan-kawan seiman. Pengutamaan kawan-kawan seiman tidak menjadi
alasan untuk melupakan orang-orang yang tidak seiman dengan pengikut Yesus. Pengutamaan
kawan-kawan seiman bertujuan agar kawan-kawan seiman itu segera dapat membantu
untuk melakukan perbuatan-perbuatan baik kepada semua orang. Hal itu sangat
penting diperhatikan Huria Kristen Galatia, sehingga Paulus menulis kepada
mereka dengan “huruf-huruf” yang besar dengan tangannya sendiri. “Besarnya
huruf-huruf” berarti ditulis “dengan
sangat jelas dan terang, sehingga tidak mungkin salah baca dan salah mengerti."
7. Jemaat
Huria Kristen Galatia sedang dilanda ajaran pemberita Injil yang mengatakan
bahwa menjadi pengikut Yesus harus juga disunat, agar kekristenannya sempurna,
dan sebagai kelanjutan dari agama Yahudi yang diperbaharui. Paulus sangat
menentang “penjahudian” umat Kristen, terutama pemaksaan mereka melakukan
sunat. Paulus melihat, bahwa para pemberita Injil (yang menurut Paulus
merupakan Injil yang lain) itu membuat jemaat Kristen demikian, agar ada alasan
mereka bahwa mereka tidak bergeser dari agama Yahudi, lalu mereka tidak ikut
diadukan para pemimpin agama Yahudi agar ditangkap oleh pemerintah Romawi.
Waktu itu pemerintah Romawi dan tokoh-tokoh Yahudi sedang berkolusi untuk
melenyapkan kelompok Kristen yang mulai tumbuh, dengan tuduhan bahwa umat
Kristen melawan pemerintah Romawi dan selalu membuat kekacauan di tengah
masyarakat. Bagi yang takut disesah/disiksa
oleh tentara Romawi, akan segera menuruti para penginjil yang menjahudikan
huria Kristen. Paulus jelas mengetahui taktik mereka, dengan mengatakan: “Mereka yang secara lahiriah suka menonjolkan
diri, merekalah yang berusaha memaksa kamu untuk bersunat, hanya dengan maksud,
supaya mereka tidak dianiaya karena salib Kristus. Sebab mereka yang
menyunatkan dirinya pun, tidak memelihara hukum Taurat. Tetapi mereka
menghendaki, supaya kamu menyunatkan diri, agar mereka dapat bermegah atas
keadaanmu yang lahiriah” (ay.12-13). Penonjolan diri mereka lakukan dengan
mengatakan bahwa mereka berusaha menegakkan kejahudian di tengah pengikut
Yesus. Dan dengan usaha tersebut mereka menjadi sahabat para Yahudi yang anti
Kristus. Lalu mereka tidak dianiaya, karena mereka tidak lagi membela arti dan
fungsi salib Yesus Kristus dalam rencana keselamatan yang dilakukan TUHAN
Yahowa. Kalau para pemberita Injil “yang
lain” ini berhasil menancapkan pengaruhnya di Huria Kristen Galatia (yakni
berhasil membuat warga Huria Kristen Galatia menyunatkan diri, walaupun sudah
dibaptis dalam nama Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus), tentu saja mereka akan
bermegah atas penyunatan mereka (keadaan lahiriah), dan tidak atas yang
rohaniah (iamn kepada Kristus).
Di masa sekarang, dalam versi
yang lain, masih ada kelompok Kristen yang tidak tulus mau diperbaharui oleh
gerakan keselamatan oleh Kristus. Ada jemaat Kristen yang selalu merayakan hari
Sabbat di hari Sabtu (Sabbat atau Sabtu artinya ketujuh), dan oleh karenanya mereka tidak setiap minggu merayakan
hari TUHAN, yakni hari kebangkitan Yesus Kristus dan hari Pencurahan Roh Kudus, yang menurut Huria Kristen, bahwa
perayaan hari TUHAN di setiap hari Ahad (hari pertama setiap minggu, yakni di
hari Minggu < Dominggus = Tuhan) adalah juga sekaligus merayakan hari
Sabbat. Ada juga kelompok Kristen yang “parsubang”
(yang berpantang memakan makanan tertentu) (misalnya tidak memakan namargota = yang dimasak bercampur
mantan darah hewan tersebut), karena hal itu dilarang di Perjanjian Lama (atau
ke-Yahudian), dan mereka melupakan apa
yang dikatakan TUHAN, bahwa bukan yang masuk dari mulut yang membuat orang itu
najis, melainkan yang keluar dari mulutnya yang membuat orang itu najis. Dan
suara TUHAN yang mengatakan: “Apa yang dikatakan halal oleh Allah, tidak boleh
engkau nyatakan haram.” (Kis.10:15b). Yesus datang untuk menghalalkan apa yang
dikatakan Allah dulu haram, demikian pesan dalam kitab suci teman di seberang. Ada
juga kelompok beragama yang menyebut dirinya Saksi Yehova, mengatakan bahwa
harus nama Yahowa yang dipanggil, dan itu tidak boleh dihilangkan dari Kitab
Suci, dan nama itu tidak boleh diterjemahkan.
Huria Kristen yang ada di dunia mengenal Yahowa berdasarkan Kitab Suci
Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Nama Yahowa tidak pernah disangkal, dan
selalu ditonjolkan. Arti nama Yahowa
yang menjadi arti semua kata pinjaman dari bahasa-bahasa lain yang menjadi
terjemahan nama Yahowa (TUHAN, HERR, ALLAH, GOD/LORD, LOWALANGI, dan
lain-lain). Huria Kristen berani menterjemahkan nama Yahowa ke bahasa setempat
untuk menyaksikan bahwa Yahowa yang satu itu tanpa disadari oleh suku-suku
bangsa, DIA telah memerintah suku-suku bangsa tersebut dengan memakai nama yang
namanya menjadi terjemahan nama Yahowa. Penterjemahan nama Yahowa ke dalam
bahasa-bahasa setempat merupakan
kesaksian, bahwa Yahowa adalah Pencipta Langit dan Bumi serta segala Isinya,
dan yang menguasai seluruh umat manusia, campur tangan dengan kehidupan manusia
di manapun dan dalam bahasa apapun. Bahwa agama setempat tidak otomatis menjadi
agama Yahowa, sebelum Injil tiba di sana, adalah merupakan perkembangan
keagamaan yang bisa membawa manusia ke arah yang lain dari arah yang ditunjuk
oleh agama Yahowa. Oleh karena itu agama setempat tersebut harus dikoreksi
melalui pemberitaan Injil, dan bukan harus dilenyapkan dari muka bumi.
Kedatangan Injil ke suatu daerah yang penduduknya sudah menganut agama setempat
tidak bertujuan mengadakan religiocide
dan culturecide di tempat itu,
melainkan menyelamatkan religio dan culture yang ada di daerah setempat itu,
dengan membuang semua yang bertentangan dengan agama keselamatan dalam Yahowa
yang dibawa oleh Yesus Kristus. Ini sangat berbeda dengan kedatangan suatu
agama dari timur tengah, yang selalu hendak menghapus kekristenan dari muka
bumi. Agar manusia berada dalam jalan keagamaan yang benar, manusia harus
mengikuti apa yang dianjurkan Paulus, yakni “menjadi ciptaan baru, yakni status
yang ada artinya”. Beragama itu jangan
kembali kepada paradigma lama, baik dalam ajaran maupun dalam perbuatan. Paulus
mencela kaum Yahudi bersunat itu, yang tidak melakukan tuntutan perilaku karena
disunat, yang tidak melakukan Hukum Taurat. Demikian juga Kristen: Untuk apa menjadi
pengikut Yesus Kristus yang selalu rajin mendengar Firman TUHAN, kalau tidak
menjadi “pelaku Firman”? Untuk apa menjadi penganut agama, kalau hanya untuk
menonjol-nonjolkan diri saja? Mungkin lebih baik dari penganut agama yang
sombong dan menonjolkan diri tapi kosong dalam perbuatan kasih, apabila
menjadi pengikut iblis yang sangat
rendah hati, sabar, suka menolong, sungguh – sungguh mengasihi sesama umat
manusia, jujur, adil, dan akrab. Huria Kristen harus mengimbangi perilaku
pengikut Iblis sedemikian.
8. Kemegahan
Paulus satu-satunya hanya di dalam “Salib Tuhan kita Yesus Kristus”. Alasannya:
sebab dalam salib Kristus dunia telah disalibkan bagi Paulus dan Paulus dalam
salib Kristus telah disalibkan bagi dunia. Artinya dalam salib Kristus ada tiga
yang sudah tersalib, yakni yang pertama: Yesus Kristus sendiri, yang kedua:
Dunia ini dan yang ketiga: Paulus sendiri. Ketiga-tiganya sama-sama disalibkan,
yakni sama-sama dihukum mati, dan benar-benar mati. Yesus Kristus mati karena di
kayu salib memikul dosa manusia. Dunia dan segala niat-niatnya mati karena
terang Injil. Saulus mati karena
mengikut Tuhan Yesus Kristus. Tetapi kematian tidak membelenggu tiga yang
disalibkan tersebut. Yesus Kristus hidup kembali di hari ketiga setelah penyalibannya
untuk memberi kemenangan atas segala bentuk kematian. Dunia hidup kembali
dengan paradigma barunya, menjadi dunia yang baru oleh karena kehidupan dari
Yesus Kristus. Saulus kembali hidup menjadi Saulus oleh Yesus Kristus. Paulus
(yang dulu Saulus) tidak lagi pengikut agama Yahudi, tetapi menjadi pengikut
Yesus Kristus, yang tidak melepas keyahudian yang baik, tetapi melepaskan
keyahudian yang mematikan seperti sunat yang sudah kadaluarsa itu. Kehidupan
baru yang diterima Yesus Kristus, dan diterima oleh dunia, dan diterima oleh
Paulus, itulah yang sangat berarti.
9.
Bersunat dan tidak bersunat tidak
ada artinya,
kata Paulus. Bagi Yahudi bersunat sangat punya arti. Tidak bersunat bagi huria
Kristen sangat punya arti. Tetapi Paulus mengatakan hal-hal itu tidak ada
artinya. Mengapa? Karena masih ada yang lebih berarti daripada bersunat atau
tidak bersunat. Dan kalau yang lebih berarti itu dimiliki seseorang, maka
bersunat dan tidak bersunat menjadi tidak berarti. Yang lebih berarti itu
adalah “menjadi ciptaan baru”. Inilah yang ada artinya menurut Paulus. Menjadi ciptaan baru tidak diukur dari hal
bersunat atau tidak bersunat. Tetapi diukur dari Kristus. Maka Paulus
mengatakan: “Jadi siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru: yang
lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang” (II Korintus 5:17). Itu
merupakan kesimpulan dari proses kemenjadian. Ciptaan baru terdiri dari kumpulan
orang yang tidak menanyakan latar belakang fisiknya (misalnya: bersunatkah)
atau latar belakang agamanya (misalnya: mantan pelbegu kian kah atau mantan
penganut agama Yahudikah). Mereka satu
menjadi tubuh Kristus. Mereka dipersatukan dalam satu Roh, satu Tuhan,
satu baptisan, satu kasih, satu pengharapan dan satu iman. Bukan dipersatukan dalam satu ritus ibadah,
satu bahasa, satu budaya, satu nama, satu pertanda. Apalah artinya menjadi ciptaan baru dalam Kristus? Ciptaan baru inilah yang tidak memegang
prinsip rasialisme, melainkan menghapuskan rasialisme. Ciptaan baru ini yang
benar-benar mampu menembus batas (border),
sehingga setiap tembok pembatas di antara manusia benar-benar runtuh dan lenyap
(termasuk batas tempat duduk antara laki-laki dan perempuan sewaktu mengikuti
ibadah). Ciptaan baru inilah yang mampu hidup/bekerja memperbaiki kemanusiaan
dalam medan situasi kemanusiaan yang
bagaimanapun, sebab seperti Paulus mereka bisa menjadi Yahudi di tengah-tengah
orang Yahudi, dan bisa menjadi orang Yunani di tengah-tengah orang Yunani. (Bukan
seperti penganut agama Yahudi di tengah-tengah kaum Yahudi; dan bukan seperti
penganut agama pelbegu-Yunani di tengah-tengah kaum Yunani). Mereka bukan
“bunglon”, tetapi yang mampu menempatkan diri, sehingga prestasi/karya dan
kehadirannya menyenangkan penduduk setempat. Ciptaan baru yang benar-benar bisa
melahirkan kreasi-kreasi baru, karya-karya baru, manusia-manusia baru, hidup
baru, peradaban baru, bahkan dunia yang sama sekali baru. Banyak lagi arti
daripada “menjadi ciptaan baru”. Manusia
masa kini harus mencari dan menemukan diri dan hidupnya yang penuh arti, dan
sekaligus berusaha untuk mengerjakan hal-hal yang penuh arti juga. Manusia
sekarang harus menghindarkan dirinya dari hal-hal yang percuma dan sia-sia,
pekerjaan yang tidak punya arti. Misalnya wasting
time only in video game (menghabiskan waktu hanya dalam video game), tetapi
mengubahnya dengan membuat alat-alat komputer mencari untung yang sangat punya
arti. TUHAN telah memberi contoh: DIA memberi keselamatan dengan cuma-cuma
(gratis) tetapi Dia inginkan bahwa apa yang diberikan-Nya tidak menjadi
percuma, tetapi menjadi berarti dan berguna, bagi diri dan bagi bangsa, umat
dan negara.
10. Kalau semua orang dipimpin
patokan ini (yakni menjadi ciptaan baru yang penuh arti), pasti damai sejahtera
dan rahmat akan menjadi kenikmatan yang luar biasa bagi seluruh penduduk di bumi, kota dan di desa. Dampak berikutnya
adalah: Israel dan Palestina akan
menerima berkat dan menjadi berkat bagi bangsa-bangsa, dan bukan lagi seperti
sekarang menjadi kutuk dan yang dikutuki oleh bangsa-bangsa, karena kedua-duanya
tidak mau berdamai walaupun sudah hampir seluruh negara anggota PBB sudah
mengusulkan agar Israel berdamai dengan Palestina, dan Palestina berdamai
dengan Israel. Damai sejahtera dan rahmat Allah menjadi dambaan seluruh umat manusia. Makanya
Islam mengatakan dirinya sebagai agama yang rahmatan
lil alamin (yang menjadi rahmat bagi seluruh isi alam). Dan Kristen
mengatakan bahwa agamanya adalah agama damai sejahtera bagi seluruh bangsa dan umat
manusia (Å¡alôm lagoyim weha‘amyim
ba’areÅŸ = damai sejahtera bagi bangsa-bangsa dan umat di bumi). Diharapkan
bahwa pengikut kedua agama ini tidak menyangkal jati dirinya sewaktu bergaul di
bumi; artinya tidak menjadi perusak yang satu terhadap yang lain; dan tidak
saling menghambat dalam memajukan kesejahteraan kemanusiaan di manapun. Masih
sangat mengherankan, apabila masih ada kelompok Islam atau kelompok Kristen
yang berhasil diprovokasi oleh tokoh agama setempat untuk saling merusak,
saling mengganggu ibadah dan lain-lain perbuatan negatif (seperti dilakukan
ISIS). Pengganggu Kristen menjadi lenyap
pahalanya. Pengganggu Islam menjadi
kehilangan tempatnya di sorga. Kan gitu?
Maka anjuran Paulus itu benar, yang mengatakan: jadilah menjadi ciptaan
baru, yang penuh arti bagi kerajaan TUHAN Allah di bumi atau bagi kemanusiaan
tanpa kecuali. Tuhan memberkati. Amen.
Pematangsiantar,
tgl. 9 Juni 2016. Pdt. Langsung Maruli Basa Sitorus (Pdt. LaMBaS).