MINGGU XXII SETELAH TRINITAS TGL. 23 OKTOBER 2016: EVANGELIUM LUKAS 18:9-14
LUKAS
18:9 Dan kepada
beberapa orang yang menganggap dirinya benar dan memandang rendah semua orang
lain, Yesus mengatakan perumpamaan ini:
18:10 "Ada
dua orang pergi ke Bait Allah untuk berdoa; yang seorang adalah Farisi dan yang
lain pemungut cukai.
18:11 Orang
Farisi itu berdiri dan berdoa dalam hatinya begini: Ya Allah, aku mengucap
syukur kepada-Mu, karena aku tidak sama seperti semua orang lain, bukan
perampok, bukan orang lalim, bukan pezinah dan bukan juga seperti pemungut
cukai ini;
18:12 aku
berpuasa dua kali seminggu, aku memberikan sepersepuluh dari segala
penghasilanku.
18:13 Tetapi
pemungut cukai itu berdiri jauh-jauh, bahkan ia tidak berani menengadah ke
langit, melainkan ia memukul diri dan berkata: Ya Allah, kasihanilah aku orang
berdosa ini.
18:14 Aku berkata
kepadamu: Orang ini pulang ke rumahnya sebagai orang yang dibenarkan Allah dan
orang lain itu tidak. Sebab barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan
dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan."
ORANG BERAMAL
DAN ORANG BERIMAN HARUS SALING MELENGKAPI DAN SALING MENYEMPURNAKAN
1.
Lukas mencatat dengan jelas kepada siapa
perumpamaan yang diberikan Yesus ini ditujukan, yaitu: kepada beberapa orang yang menganggap dirinya benar dan memandang
rendah semua orang lain. Lukas tidak
memberitahu siapa itu yang disebut beberapa
orang, tetapi rupanya, walaupun mereka hanya beberapa, perilaku mereka
sangat mengganggu pergaulan dalam masyarakat, dan perilaku itu membuat adanya
klassifikasi (penggolong-golongan) di kalangan masyarakat, yakni ada memperlakukan
dirinya sebagai kelompok “tinggi” dan ada yang dipandang sebagai kelompok
“rendah”. Sifat dan perilaku beberapa
orang itu membuat semakin terkikis rasa solidaritas dan kesediaan saling
mengasihi di kalangan anggota masyarakat. Beberapa
orang tersebut perlu bertobat sehingga mereka tidak menjadi sumber “mata
air pahit” dan tidak menjadi “akar pahit” bagi masyarakat. Tujuan gerakan revolusioner dalam mengubah suasana hidup
masyarakat, Yesus mencita-citakan bahwa semua orang di masyarakat benar-benar
melakukan prinsip kesetaraan, kebebasan dan persaudaraan (suatu hal yang
ditemukan oleh revolusi Perancis di kemudian hari), yang digerakkan oleh
keimanan, bukan hanya digerakkan oleh kepentingan sosial dan kepentingan
individu (berbeda dengan motivasi revolusi Perancis). Keimanan harus terpancar
dalam perbuatan, dan perbuatan harus menunjukkan kesetaraan, kebebasan dan
persaudaraan. Keimanan harus mendorong setiap orang beriman menjauhkan dari
dirinya sikap diskriminatif, apartheidtis (pemisah-misahan), pembelengguan atas
nama apapun (atas nama agama, politik, kasta, ras, ideologi, warna kulit,
ekonomi, dll.). Dalam Lukas 17 – 18 diceritakan bahwa Yesus merindukan adanya keimanan (iman) yang
membebaskan, iman yang menyetarakan, iman yang memperkuat kasih persaudaraan,
iman yang bekerja untuk keselamatan, dan iman yang tersalur dalam
perbuatan-perbuatan keagamaan dan perbuatan-perbuatan keseharian. Kepada muridNya
Yesus berkata: "Kalau sekiranya kamu mempunyai iman sebesar biji sesawi
saja, kamu dapat berkata kepada pohon ara ini: Terbantunlah engkau dan
tertanamlah di dalam laut, dan ia akan taat kepadamu." (Luk.17:6). Kepada
seorang kusta dari sembilan yang ditahirkan dan yang datang memuliakan TUHAN,
Yesus berkata: "Berdirilah dan pergilah, imanmu telah menyelamatkan
engkau." (Luk.17:19). Mengomentari cerita tentang hakim yang lalim dan
seorang janda miskin, dalam hal siapa yang dibenarkan, Yesus berkata: “Ia akan
segera membenarkan mereka. Akan tetapi, jika Anak Manusia itu datang, adakah Ia
mendapati iman di bumi?"” (Luk.18:8). Sewaktu Yesus melarang
murid-murid-Nya menghalangi anak-anak dibawa kepada-Nya, Yesus berkata: “Aku
berkata kepadamu: ‘Sesungguhnya barangsiapa tidak menyambut Kerajaan Allah
seperti seorang anak kecil, ia tidak akan masuk ke dalamnya.’" (Luk.
18:17). Dan kepada seorang buta yang berseru kepada Yesus yang lewat agar dia
bisa melihat, Yesus berkata kepadanya:
"Melihatlah engkau, imanmu telah menyelamatkan engkau!" (Luk.18:42). Teks
sekitar perikop Luk.18:9-14 penuh dengan persoalan iman dan perbuatan. Secara semu, perumpamaan Yesus
dalam Luk.18:9-14 juga berbicara tentang bagaimana iman yang dimiliki diekspresikan
dalam perbuatan beragama, dan perbuatan sehari-hari. Beberapa orang yang menganggap dirinya benar dan memandang rendah semua
orang lain adalah orang-orang beriman kepada TUHAN (Yahowa), tetapi sikap
mereka memandang rendah semua orang lain, menunjukkan penyimpangan dalam penterapan
iman yang dimiliki itu dalam sikap terhadap orang lain. Keimanan yang
diharapkan adalah: menganggap diri benar dan memandang semua orang lain setara/sederajat dengan
dirinya serta sepenanggungan.
2.
Agar beberapa
orang itu bertobat dan orang banyak memiliki pedoman yang baik
tentang beriman dan berperbuatan, Yesus menceritakan satu perumpamaan: Seorang
Farisi dan seorang pemungut cukai sama-sama berdoa di Bait TUHAN (Yahowa). Doa
masing-masing merupakan ekspresi keimanan mereka masing-masing. Orang Farisi
itu berdoa dalam hati, dan tidak terdengar oleh siapapun yang ada di dekatnya.
Orang Pemungut Cukai itu menyuarakan doanya, sehingga di dengar orang lain
juga. Yesus tidak mengkarang-karang doa daripada kedua orang tersebut, tetapi
DIA ketahui dari kebiasaan-kebiasaan berdoa dua kelompok professi ini. Mungkin
tidak semua orang Farisi berdoa dengan kata-kata sedemikian, dan tidak semua
Pemungut Cukai berdoa seperti diceritakan dalam perumpamaan ini. Tetapi pasti
ada Farisi dan Pemungut Cukai yang berdoa seperti itu. Dua orang itu diambil
Yesus sebagai figur dalam perumpamaannya, agar Farisi yang lain tidak berbuat
seperti Farisi yang satu ini, dan agar Pemungut Cukai, yang sudah menjadi
“figur” yang diberi label “orang berdosa”, dapat diikuti Pemungut Cukai yang
lain sebagai orang yang “mengenal diri”. Dua kelompok profesi ini yang ada di
tengah masyarakat harus diselamatkan. Dua kelompok profesi itu adalah (1)
Kelompok profesi pengrajin/pegiat
keagamaan; dan (2) Kelompok profesi pengrajin/pegiat kehidupan sekuler
yang terdiri dari pejabat pemerintahan maupun anggota masyarakat umum. Dua-duanya
harus ditobatkan menjadi kelompok yang dapat berdoa bersama demi pemuliaan
TUHAN dan pemuliaan kemanusiaan (yang setara, bersaudara, dan merdeka, serta
selamat).
3.
Doa Farisi itu dalam hatinya: “Ya Allah, aku mengucap syukur kepada-Mu,
karena aku tidak sama seperti semua orang lain, bukan perampok, bukan orang
lalim, bukan pezinah dan bukan juga seperti pemungut cukai ini; aku berpuasa
dua kali seminggu, aku memberikan sepersepuluh dari segala penghasilanku.” Mengapa doa seperti ini menjadi doa yang tidak
menyenangkan hati TUHAN? Di kesempatan lain, Yesus telah memperingatkan para
murid-Nya agar tidak berdoa seperti orang munafik berdoa, yang suka mengucapkan doanya dengan berdiri dalam
rumah-rumah ibadat dan pada tikungan-tikungan jalan raya, supaya mereka dilihat
orang (Mat.6:5). Dalam doa orang Farisi yang satu ini, sebenarnya dia tidak
munafik, tetapi mengatakan yang sebenarnya tentang dirinya, sehingga sebenarnya
dia tidak berdoa lagi, melainkan menuturkan siapa dirinya kepada TUHAN. Dalam
ucapan syukurnya tidak ada lagi permohonan, tentang harapannya maupun tentang
apa yang akan dilakukannya sehubungan dengan dirinya yang dia tuturkan. Dari
isi doa dalam hati Farisi ini ada tiga hal yang jelas harus dia perbaiki,
sehingga doanya didengar oleh TUHAN dan dia dapat kembali dari Bait TUHAN sebagai
orang yang dibenarkan. Tiga hal itu adalah: (1) Pengenalan akan dirinya (tidak sama seperti semua orang lain, bukan
perampok, bukan orang lalim, bukan pezinah) harus dia kaitkan dengan
permohonan kepada TUHAN agar dirinya yang demikian menjadi alat TUHAN melayani
manusia atau mengasihi manusia yang lain (yang berbeda dengan dia, yang
perampok, yang lalim, yang pezinah). (2) Sehubungan dengan penilaiannya tentang
diri orang lain (bukan juga seperti
pemungut cukai ini) seharusnya tidak bernada melecehkan orang itu, tetapi
harus dia lanjutkan dengan mengatakan dalam doanya bahwa agar dia diperkenankan
TUHAN untuk menuntun orang yang dikenalnya itu menjadi anak TUHAN yang hidup
sesuai dengan ajaran TUHAN. (3) Pemenuhan kewajibannya (berpuasa dua kali seminggu; memberikan sepersepuluh dari segala
penghasilanku) harus dia nyatakan sebagai perbuatan rendah hatinya, dan
agar pemberiannya diberkati TUHAN menjadi berkat bagi orang lain, dan pemberian
itu masih belum seberapa sebenarnya (belum melebihi dari apa yang diaturkan
hukum agama). Kalau Farisi itu menyadari bahwa dia tidak sama dengan orang
lain, atau punya status yang agak lebih tinggi dari orang lain, tentu saja dia
akan berdoa, agar dia menjadi berkat bagi orang lain, dan memohon pertolongan
agar dia dimampukan TUHAN melayani orang lain, sesuai dengan bidang kerjanya.
Kalau Farisi itu menyadari bahwa dirinya bukan perampok, tentu saja dia harus
berdoa, agar TUHAN menolong dia dalam memelihara dan menjaga harta orang lain,
agar harta orang lain itu tidak ada yang dicuri atau dirampok oleh orang lain. Kalau Farisi itu menyadari dirinya bukan orang
lalim, tentu saja dia sebaiknya berdoa kepada TUHAN agar dia dimampukan TUHAN
menjadi orang yang lembut, ramah dan suka menolong orang lain. Kalau Farisi itu
menyadari dirinya bukan pezinah, dia seharusnya berdoa kepada TUHAN, agar etika
hidupnya dapat dia tunjukkan sebagai teladan bagi orang lain, dan agar dia
dikuatkan oleh TUHAN agar setia dalam hidupnya berkeluarga dan dia ditolong
oleh TUHAN untuk menggembalai keluarga-keluarga setia dalam hal berkeluarga.
Mungkin bagi orang Farisi ini, profesi pemungut cukai sudah menjadi “ikon”
pelaku dosa “menipu orang lain”, “yang makan dari uang sogok”, atau “manjadi
kaya karena mengkorupsi pajak yang dipungutnya”, “pemeras orang lain”. Orang Farisi yang dalam perumpamaan ini,
melihat dirinya tidak seperti pemungut cukai, yang juga berdoa di Bait TUHAN
itu. Sebenarnya kalau orang Farisi ini menyadari dirinya tidak seperti pemungut
cukai, dia seharusnya berdoa di Bait TUHAN itu mengatakan: “Ya TUHAN, tolonglah
saya dan pemungut cukai yang ada di Bait-Mu ini, agar kami dapat hidup dengan
jujur dan menjadi berkat bagi bangsa, negara kami, terlebih bagi umat-Mu.”
Mengatakan doa seperti itu masih lebih baik daripada memberi tahu TUHAN tentang
diri sendiri dengan melecehkan atau menganggap rendah orang lain.
Dalam doanya orang Farisi ini memberi tahu TUHAN, apa saja yang sudah
dilakukannya sebagai seorang yang taat beragama: berpuasa dua kali seminggu; memberikan sepersepuluh dari segala
penghasilanku. Tetapi orang Farisi ini tidak melakukan puasa yang
sebenarnya, seperti dikatakan oleh nabi Yesaya dalam kitabnya Yes.58:6-7: “Berpuasa
yang Kukehendaki, ialah supaya engkau membuka belenggu-belenggu kelaliman, dan
melepaskan tali-tali kuk, supaya engkau memerdekakan orang yang teraniaya dan
mematahkan setiap kuk, supaya engkau memecah-mecah rotimu bagi orang yang lapar
dan membawa ke rumahmu orang miskin yang tak punya rumah, dan apabila engkau
melihat orang telanjang, supaya engkau memberi dia pakaian dan tidak
menyembunyikan diri terhadap saudaramu sendiri!” Berpuasa sedemikian menuntut
lebih dari pada membayarkan kewajiban sepersepuluh dari segala penghasilan kepada imam di Bait
TUHAN. Sebenarnya apa yang dilakukan oleh orang Farisi ini hanya “rutinitas”
dan tidak lebih dan tidak kurang dari “hanya untuk bisa pamer kesalehan”,
tetapi menyakitkan bagi orang lain. Orang Farisi ini pasti seorang beriman
kepada TUHAN (Yahowa) dan yang kuat berpegang kepada peraturan-peraturan Hukum Taurat. Tetapi imannya itu tidak
diekspresikan dalam perbuatan-perbuatan yang melengkapi dan menyempurnakan iman
tersebut. Perlunya iman dan perbuatan saling melengkapi dikatakan dalam Yakobus
2:22 (“... iman bekerjasama dengan perbuatan-perbuatan dan oleh perbuatan-perbuatan
itu iman menjadi sempurna.”). Karena tidak seperti dikatakan Yakobus itu, keagamaan
orang Farisi ini tidak terpuji di hadapan TUHAN, dan dia pulang sehabis berdoa
sebagai orang yang tidak dibenarkan oleh TUHAN. Banyak orang saleh seperti
orang Farisi ini di zaman sekarang. Ekspresi imannya melalui kata dan perbuatan
menyakitkan bagi orang lain dan juga bagi TUHAN sendiri. Orang seperti ini
harus bertobat, agar keagamaan dan pengabdiannya kepada TUHAN melalui huria-Nya
tidak menjadi siasia. Kalau seorang beriman memiliki profesi yang lebih baik
dari pada orang lain, sebaiknya syukurnya
ditunjukkan melalui kesediaannya melayani orang lain, memberlakukan
prinsip kesetaraan, persaudaraan dan kemerdekaan kepada semua orang.
4.
Pemungut Cukai itu juga berdoa di Bait TUHAN,
tetapi dalam perumpamaan ini menurut Yesus dia: Tetapi pemungut cukai itu berdiri jauh-jauh, bahkan ia tidak berani
menengadah ke langit, melainkan ia memukul diri dan berkata: Ya Allah,
kasihanilah aku orang berdosa ini. Dengan datangnya dia berdoa ke Bait
TUHAN, dapat dikatakan bahwa pemungut cukai ini seorang penganut agama Yahudi
(Yang percaya kepada TUHAN (Yahowa)). Dia terhitung sebagai orang beriman
kepada Yahowa. Mungkin juga dia seorang Yahudi yang diangkat pemerintah Romawi
sebagai pejabat negara yang bertugas memungut cukai. Dengan sikapnya yang
berdiri jauh-jauh, dia tunjukkan dirinya sebagai orang yang mengenal dirinya,
sebagai orang yang sebenarnya tidak layak datang mendekat ke altar TUHAN. Sikap
yang yang tidak berani menengadah ke langit, menunjukkan bahwa dia mengenal
dirinya sebagai orang yang tidak layak menunjukkan wajah di hadapan TUHAN. Sikapnya
yang memukul-mukul dirinya menunjukkan bahwa dalam dirinya sungguh terjadi
pengenalan dan penyesalan akan dosanya dan sebenarnya dia sudah pantas dihukum.
Desahannya yang meminta agar TUHAN mengasihani dia orang yang berdosa,
menunjukkan bahwa dia benar-benar orang yang melakukan dosa sewaktu dia
bekerja, sebelum dia datang berdoa itu. Dia diperhitungkan sebagai orang benar
karena dia mengenal dosanya dan memohon agar dosanya diampuni. Tetapi sungguh
sangat lebih baik, apabila dia tidak melakukan dosa, dan benar-benar bekerja
dengan takut akan TUHAN, didorong oleh imannya yang mengenal TUHAN sebagai
TUHAN yang menghukum orang berdosa. Sebenarnya seorang pemungut cukai harus
seperti Zakeus, pemungut cukai yang jujur itu, dan berani serta sanggup mengatakan kepada Tuhan Yesus: "Tuhan,
setengah dari milikku akan kuberikan kepada orang miskin dan sekiranya ada
sesuatu yang kuperas dari seseorang akan kukembalikan empat kali lipat."
(Luk.19:8). Memang iman pemungut cukai dalam perumpamaan Yesus ini berhasil
mendorong atau memotivasi dirinya datang memohon pengasihan TUHAN, tetapi
sewaktu dia bekerja sehari-harian, imannya gagal membuat dia menjadi orang yang
benar, jujur dan terpuji. Dia beruntung karena di saat datang di hadapan TUHAN,
dalam doanya dia tunjukkan bahwa dia kembali ke jalan yang benar, dan
diharapkan setelah selesai berdoa tersebut dan setelah dosanya diampuni dan dia
mendapat belaskasihan, dia tidak mengulangi berdosa lagi dalam
pekerjaan-pekerjaan sehari-hariannya sebagai pemungut cukai. Perumpamaan ini
menunjukkan bahwa TUHAN mengevaluasi manusia dalam beriman dan berperbuatan
dalam perjalanan hidupnya dan bagaimana manusia itu mengekspresikan imannya
dalam tahap-tahap akhir dia menghadap TUHAN. (Perhatikan apa yang diperoleh
orang berdosa yang disalibkan bersama Yesus di sebelah kanan Yesus. Sewaktu dia
menyerahkan hidupnya ke tangan Yesus, dia memperoleh jawaban: “Aku berkata
kepadamu, sesungguhnya hari ini juga engkau akan ada bersama-sama dengan Aku di
dalam Firdaus!”). Tetapi hidup yang lebih elok dan lebih bertanggungjawab
adalah, apabila pengikut Yahowa (Yesus Kristus) benar-benar beriman yang kuat
dan mengekspresikan imannya itu dalam perbuatan-perbuatan sehari-hari. Dari itu
akan muncul doa-doa yang bersyukur secara tepat dan benar, serta pengenalan
diri yang menjadi berkat bagi orang lain.
5.
Mengakhiri pengajaran-Nya melalui perumpamaan
itu, Yesus memberikan suatu kebenaran mutlak dengan mengatakan: “Sebab barangsiapa meninggikan diri, ia akan
direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan."
Pendapat ini berlaku dalam semua agama dan semua budaya dan prinsip-prinsip
kehidupan manusia, seperti dalam hukum ekonomi maupun hukum pensejahteraan
rakyat. Selalu “yang tinggi” direndahkan, dan “yang rendah” ditinggikan. Caranya
bisa berbeda-beda. Cara terbaik adalah “kesadaran anggota masyarakat” itu
sendiri melakukannya. Kalau cara penyadaran masyarakat gagal, maka kekuatan
hukum dan pemerintahan menjadi diharapkan dan diterapkan, agar “yang tinggi”
direndahkan dan “yang rendah” ditinggikan. Dengan demikian terciptalah
keseimbangan, atau perataan atau pemerataan. Meninggikan diri berarti menyombongkan status
dan keberadaan dirinya terhadap orang lain, sehingga orang lain dan bahkan
TUHAN menjadi tersinggung. Merendahkan diri berarti memperlakukan diri lebih
hina dari orang lain, dan selalu siap sedia melayani dan membantu orang lain,
walaupun sebenarnya statusnya sama atau lebih tinggi dari orang lain itu dan
dari sudut statusnya (profesinya) dia adalah yang patut dilayani dan patut lebih
dihormati. Orang yang merendahkan diri memahami bahwa hal-hal yang baik yang
dia lakukan terhadap orang lain (tanpa diskriminasi) adalah seperti melakukan
kepada TUHAN. Di manapun di negeri ini, orang yang IQ-nya selangit, tetapi
kalau EQ-nya dan SQ-nya nol, dia tidak akan terpakai di masyarakat. Orang yang
IQ-nya selangit, perlu merendahkan diri dengan menunjukkan bahwa EQ dan SQ-nya
baik. Orang yang IQ dan EQ dan SQ-nya rata-rata baik, akan menjadi orang yang
akan terpuji dalam bekerja dan dalam bergaul atau dalam tim kerja dengan
sesamanya. IQ, EQ dan SQ setiap manusia perlu diratakan melalui pendidikan
intelektual, pendidikan emosional, dan pendidikan spiritual yang baik. Dengan
demikian akan dapat diminimaliser jumlah orang yang sombong intelektual (sok
pandai), yang sombong spiritual (sombong rohani), maupun yang sombong kuasa
(sok jago). Semua akan berkata dan berperilaku seperti Yesus: “Aku datang bukan
untuk dilayani, melainkan untuk melayani.” Tingkat kemanusiaan seperti ini
dapat diciptakan dengan pendidikan ilmu pengetahuan, teknologi dan kerohanian
yang benar-benar baik dan seimbang. Dengan demikian, tindakan menurunkan yang
tinggi dan menaikkan yang rendah, tidak lagi menyakitkan, tetapi membahagiakan.
Tuhan memberkati.
Pematangsiantar, tgl. 13 Oktober 2016. Pdt. Langsung Maruli Basa Sitorus
(Pdt. LaMBaS).